Panduan Puasa Ramadhan Di Bawah Naungan
Al-Qur`an Dan As-Sunnah
Berikut ini kami ketengahkan ke
hadapan para pembaca tuntunan puasa Ramadhan yang benar, berupa
kesimpulan-kesimpulan yang dipetik dari Al-Qur`an dan Sunnah Rasulullah
shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam yang shohih.
Tulisan ini kami sarikan dari
pembahasan luas dari berbagai madzhab fiqh dan kami uraikan dengan
kesimpulan-kesimpulan ringkas agar menjadi tuntunan praktis bagi setiap muslim dan
muslimah dalam menjalankan puasa Ramadhan.
Harapan kami mudah-mudahan
bermanfaat bagi segenap kaum muslimin dan muslimat dalam menjalankan ibadah
puasa Ramadhan yang mulia. Amin Ya Rabbal ‘Alamin.
1. Beberapa Perkara Yang Perlu
Diketahui Sebelum Masuk Ramadhan.
* Tidak
boleh berpuasa sehari atau dua hari sebelum Ramadhan dengan maksud berjaga-jaga
jangan sampai Ramadhan telah masuk pada satu atau dua hari itu sementara mereka
tidak mengetahuinya. Adapun kalau berpuasa sehari atau dua hari sebelum Ramadhan
karena bertepatan dengan kebiasaannya seperti puasa Senin-Kamis, puasa Daud dan
lain-lain, maka hal tersebut diperbolehkan.
Seluruh hal ini berdasarkan hadits
Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu riwayat Al-Bukhary dan Muslim, Rasululllah
shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam bersabda :
لَا
تُقَدِّمُوْا رَمَضَانَ بِصَوْمِ يَوْمٍ أَوْ يَوْمَيْنِ إِلَّا رَجُلًا كَانَ
يَصُوْمُ صَوْمًا فَلْيَصُمْهُ
“Jangan kalian mendahului Ramadhan
dengan berpuasa satu atau dua hari kecuali seseorang yang biasa berpuasa dengan
suatu puasa tertentu maka (tetaplah) ia berpuasa.”
* Penentuan
masuknya bulan adalah dengan cara melihat Hilal. Hilal adalah bulan sabit kecil
yang nampak di awal bulan.
Dan bulan Islam hanya terdiri dari
29 hari atau 30 hari, sebagaimana dalam hadits ‘Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu
‘anhu riwayat Al-Bukhary dan Muslim, Nabi shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa
sallam tatkala menyebut bulan Ramadhan beliau berisyarat dengan kedua tangannya
seraya berkata :
الشَّهْرُ
هَكَذَا وَهَكَذَا وَهَكَذَا ثُمَّ عَقَدَ إِبْهَامَهُ فِي الثَّالِثَةِ
فَصُوْمُوْا لِرُؤْيَتِهِ وَأَفْطِرُوْا لِرُؤْيَتِهِ فَإِنْ أُغْمِيَ عَلَيْكُمْ
فَاقْدُرُوْا لَهُ ثَلَاثِيْنَ
“Bulan (itu) begini, begini dan
begini, kemudian beliau melipat ibu jarinya pada yang ketiga (yaitu sepuluh
tambah sepuluh tambah sembilan,-pent.), maka puasalah kalian karena kalian
melihatnya (hilal), dan berbukalah kalian karena kalian melihatnya, kemudian
apabila bulan tertutupi atas kalian maka genapkanlah bulan itu tiga puluh.”
Maka untuk melihat hilal Ramadhan
hendaknya dilakukan pada tanggal 29 Sya’ban setelah matahari terbenam. Selang
beberapa saat bila hilal nampak maka telah masuk tanggal 1 Ramadhan dan apabila
hilalnya tidak nampak berarti bulan Sya’ban digenapkan 30 hari dan setelah
tanggal 30 Sya’ban secara otomatis besoknya adalah tanggal 1 Ramadhan.
* Apabila
hilal telah terlihat pada satu negeri maka diharuskan bagi seluruh negeri di
dunia untuk berpuasa. Ini merupakan pendapat Jumhur ‘Ulama yang bersandarkan
kepada surat Al-Baqaroh ayat 185 :
فَمَنْ
شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ
“Maka barangsiapa dari kalian yang
menyaksikan bulan, hendaknya ia berpuasa.”
Dan juga dari hadits Abdullah bin
‘Umar radhiyallahu ‘anhuma riwayat Al-Bukhary dan Muslim yang tersebut di atas
dan hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhuma riwayat Al-Bukhary dan Muslim,
Nabi shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam :
صُوْمُوْا
لِرُؤْيَتِهِ وَأَفْطِرُوْا لِرُؤْيَتِهِ فَإِنْ غُمِّيَ عَلَيْكُمْ الشَّهْرُ
فَعَدُّوْا ثَلَاثِيْنَ
“Berpuasalah kalian karena melihatnya
dan berbukalah kalian karena melihatnya dan apabila bulan tertutup atas kalian
maka sempurnakanlah tiga puluh.”
Ayat dan dua hadits di atas adalah
pembicaraan yang ditujukan kepada seluruh kaum muslimin di manapun mereka
berada di belahan bumi ini, wajib atas mereka untuk berpuasa tatkala ada dari
kaum muslimin yang melihat hilal.
2. Niat Dalam Puasa
* Tidak
diragukan bahwa niat merupakan syarat syahnya puasa dan syarat syahnya seluruh
jenis ibadah lainnya sebagaimana yang ditegaskan oleh Rasululllah shollallahu
‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam dalam hadits ‘Umar bin Khaththab radhiyallahu
‘anhu riwayat Al-Bukhary dan Muslim :
إِنَّمَا
الْأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَىَ
“Sesungguhnya setiap amalan hanyalah
tergantung pada niatnya dan setiap orang hanyalah mendapatkan apa yang ia
niatkan.”
Karena itu hendaknyalah seorang
muslim benar-benar memperhatikan masalah niat ini yang menjadi tolak ukur
diterima atau tidaknya amalannya. Seorang muslim tatkala akan berpuasa
hendaknya berniat dengan sungguh-sungguh dan bertekad untuk berpuasa ikhlash
karena Allah Ta’ala.
* Niat
tempatnya di dalam hati dan tidak dilafadzkan. Hal ini dapat dipahami dari
hadits di atas.
* Diwajibkan
bagi orang yang akan berpuasa untuk berniat semenjak malam harinya yaitu
setelah matahari terbenam sampai terbitnya fajar subuh.
* Dan
kewajiban berniat dari malam hari ini umum pada puasa wajib maupun puasa sunnah
menurut pendapat yang paling kuat di kalangan para ‘ulama.
* Dan tidak
dibenarkan berniat satu kali saja untuk satu bulan bahkan diharuskan berniat
setiap malam menurut pendapat yang paling kuat.
Tiga point terakhir berdasarkan
perkataan Ibnu ‘Umar dan Hafshoh radhiyallahu ‘anhuma yang mempunyai hukum
marfu’ (sama hukumnya dengan hadits yang diucapkan langsung oleh Nabi
shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam) dengan sanad yang shohih :
مَنْ
لَمْ يُبَيِّتِ الصِّيَامَ مِنَ اللَّيْلِ فَلَا صِيَامَ لَهُ
“Siapa yang tidak berniat puasa dari
malam hari maka tidak ada puasa baginya.”
* Apabila
telah pasti masuk 1 Ramadhan dan berita tentang hal itu belum diterima kecuali
pada pertengahan hari, maka hendaknyalah bersegera berpuasa sampai maghrib
walaupun telah makan atau minum sebelumnya dan tidak ada kewajiban qodho`
atasnya sebagaimana dalam hadits Salamah Ibnul Akwa’ riwayat Al-Bukhary dan
Muslim, beliau berkata :
بَعَثَ
رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَسَلَّمَ رَجُلًا مِنْ
أَسْلَمَ يَوْمَ عَاشُوْرَاءَ فَأَمَرَهُ أَنْ يُؤْذِنَ فِي النَّاسِ مَنْ كَانَ
لَمْ يَصُمْ فَلْيَصُمْ وَمَنْ كَانَ أَكَلَ فَلْيُتِمَّ صِيَامَهُ إِلَى
اللَّيْلِ
“Rasululllah shollallahu ‘alaihi wa
‘ala alihi wa sallam mengutus seorang laki-laki dari Aslam pada hari ‘Asyuro`
(10 Muharram,-pent.) dengan memerintahkannya untuk mengumumkan kepada manusia
siapa yang belum berpuasa maka hendaklah ia berpuasa dan siapa yang telah makan
maka hendaknya dia sempurnakan puasanya sampai malam hari.”
3. Waktu Pelaksanaan Puasa
Waktu puasa bermula dari terbitnya
fajar subuh dan berakhir ketika matahari terbenam. Allah Subhanahu wa Ta’ala
menyatakan dalam surah Al-Baqaroh ayat 187 :
وَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى
يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الْأَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الْأَسْوَدِ مِنَ
الْفَجْرِ ثُمَّ أَتِمُّوا الصِّيَامَ إِلَى اللَّيْلِ
“Dan makan dan minumlah kalian hingga
nampak bagi kalian benang putih dari benang hitam yaitu fajar, kemudian
sempurnakanlah puasa itu sampai malam.”
4. Makan Sahur
* Makan
sahur adalah suatu hal yang sangat disunnahkan dalam syari’at Islam menurut
kesepakatan para ulama. Hal itu karena Rasululllah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala
alihi wa sallam sangat menganjurkannya dan mengabarkan bahwa pada sahur itu
terdapat berkah bagi seorang muslim di dunia dan di akhirat sebagaimana dalam
hadits Anas bin Malik riwayat Al-Bukhary dan Muslim :
تَسَحَّرُوْا
فَإِنَّ فِي السَّحُوْرِ بَرَكَةً
“Bersahurlah kalian karena
sesungguhnya pada sahur itu ada berkah.”
Bahkan beliau menjadikan sahur itu
sebagai salah satu syi’ar (simbol) Islam yang sangat agung yang membedakan kaum
muslimin dari orang–orang yahudi dan nashroni, beliau bersabda dalam hadits ‘Amr bin ‘Ash radhiyallahu ‘anhu riwayat Muslim :
فَصْلُ
مَا بَيْنَ صِيَامِنَا وَصِيَامِ أَهْلِ الْكِتَابِ أَكَلَةُ السَّحْرِ
“Pembeda antara puasa kami dan puasa
ahlul kitab adalah makan sahur.”
* Dan juga disunnahkan
mengakhirkan sahur sampai mendekati waktu adzan subuh, sebagaimana Rasulullah
shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam memulai makan sahur dalam selang
waktu membaca 50 ayat yang tidak panjang dan tidak pula pendek sampai waktu
adzan sholat subuh. Hal tersebut dinyatakan dalam hadits Zaid bin Tsabit
radhiyallahu ‘anhu riwayat Al-Bukhary
dan Muslim :
تَسَحَّرْنَا
مَعَ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَسَلَّمَ ثُمَّ قُمْنَا
إِلَى الصَّلَاةِ. قُلْتُ : كَمْ كَانَ قُدْرُ مَا بَيْنَهُمَا؟ قَالَ خَمْسِيْنَ
آيَةً
“Kami bersahur bersama Rasulullah
shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam kemudian kami berdiri untuk sholat.
Saya berkata (Anas bin Malik yang meriwaytkan dari Zaid,-pent.) : “Berapa jarak
antara keduanya (antara sahur dan adzan)?”. Ia menjawab : “Lima puluh ayat”.”
* Dan dari
hadits di atas, juga dapat dipetik kesimpulan akan disunnahkannya makan sahur
secara bersama.
* Dan
sebaik-baik makanan yang dipakai bersahur oleh seorang mu’min adalah korma.
Sebagaimana dalam hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu riwayat Abu Dawud
dengan sanad yang shohih, Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa
sallam bersabda :
نِعْمَ
سَحُوْرُ الْمُؤْمِنِ التَّمْرُ
“Sebaik-baik sahur seorang mu’min
adalah korma.”
* Batas
akhir bolehnya makan sahur sampai adzan subuh, apabila telah masuk adzan subuh
maka hendaknya menahan makan dan minum. Hal ini sebagaimana yang dipahami dari
ayat dalam
surah Al Baqoroh ayat 187 :
وَكُلُوا
وَاشْرَبُوا حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الْأَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ
الْأَسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ ثُمَّ أَتِمُّوا الصِّيَامَ إِلَى اللَّيْلِ
“Dan makan dan minumlah kalian
hingga nampak bagi kalian benang putih dari benang hitam yaitu fajar, kemudian
sempurnakanlah puasa itu sampai malam.”
* Apabila
telah yakin akan masuk waktu subuh dan seseorang sedang makan atau minum maka
hendaknyalah berhenti dari makan dan minumnya. Ini merupakan fatwa Al-Lajnah
Ad-Daimah yang diketuai oleh Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin Baz rahimahullah, Syaikh
Muqbil bin Hadi Al-Wadi’iy dan beberapa ulama lainnya berdasarkan nash ayat di
atas. Adapun hadits Abu Daud, Ahmad dan lain-lainnya yang menyebutkan bahwa
Nabi shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam bersabda :
إِذَا سَمِعَ أَحُدُكُمُ الْنِدَاءَ
وَالْإِنَاءُ عَلَى يَدِهِ فَلاَ يَضَعْهُ حَتَّى يَقْضِيَ حَاجَتَهُ مِنْهُ
“Apabila salah seorang dari kalian
mendengar panggilan (adzan) dan bejana berada di tangannya maka janganlah ia
meletakkannya sampai ia menyelesaikan hajatnya (dari bejana tersebut).”
Hadits ini adalah hadits yang lemah
sebagaimana yang dijelaskan oleh Imam Abu Hatim. Baca Al-‘Ilal 1/123 no 340 dan
1/256 no 756 dan An-Nashihah Vol. 02 rubrik Hadits.
Dan andaikata hadits ini shohih maka
maknanya tidak bisa dipahami secara zhohir-nya tapi harus dipahami sebagaimana
yang dikatakan oleh Imam Al-Baihaqy dalam Sunanul Kubra 4/218 bahwa yang
diinginkan dari hadits adalah ia boleh minum apabila diketahui bahwa si
muadzdzin mengumandangkan adzan sebelum terbitnya fajar shubuh, demikianlah
menurut kebanyakan para ‘ulama. Wallahu A’lam.
* Apabila
seeorang ragu apakah waktu subuh telah masuk atau tidak, maka diperbolehkan
makan dan minum sampai ia yakin bahwa waktu subuh telah masuk.
Hal ini berdasarkan firman Allah :
وَكُلُوا
وَاشْرَبُوا حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الْأَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ
الْأَسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ ثُمَّ أَتِمُّوا الصِّيَامَ إِلَى اللَّيْلِ
“Dan makan dan minumlah kalian
hingga nampak bagi kalian benang putih dari benang hitam yaitu fajar, kemudian
sempurnakanlah puasa itu sampai malam.” (QS. Al-Baqaroh ayat 187)
Ayat ini memberikan pengertian
apabila fajar subuh telah jelas nampak maka harus berhenti dari makan dan
minum, adapun kalau belum jelas nampak seperti yang terjadi pada orang yang
ragu di atas masih boleh makan dan minum.
5. Perkara-Perkara Yang Wajib
Ditinggalkan Oleh Orang Yang Berpuasa
* Diwajibkan
atas orang yang berpuasa untuk meninggalkan makan, minum dan hubungan seksual.
Hal ini tentunya sangat dimaklumi berdasarkan firman Allah :
وَكُلُوا
وَاشْرَبُوا حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الْأَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ
الْأَسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ ثُمَّ أَتِمُّوا الصِّيَامَ إِلَى اللَّيْلِ
“Dan makan dan minumlah kalian
hingga nampak bagi kalian benang putih dari benang hitam yaitu fajar, kemudian
sempurnakanlah puasa itu sampai malam.”
Dan dalam hadits Abi Hurairah
radhiyallahu ‘anhu riwayat Al-Bukhary dan Muslim, Rasulullah shollallahu
‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam menegaskan :
كُلُّ
عَمَلِ ابْنِ آدَمَ يُضَاعَفُ الْحَسَنَةُ عَشَرَ أَمْثَالِهَا إِلَى
سَبْعِمِائَةِ ضِعْفٍ قَالَ اللهُ تَعَالَى : إِلاَّ الصِّيَامَ فَإِنَّهُ لِيْ
وَأَنَا أَجْزِيْ بِهِ, يَدَعُ شَهْوَتَهُ وَطَعَامَهُ مِنْ أَجْلِيْ
“Setiap amalan Anak Adam kebaikannya
dilipatgandakan menjadi sepuluh sampai tujuh ratus kali lipat. Allah Ta’ala
berfirman : “Kecuali puasa, sesungguhnya ia adalah (khusus) bagi-Ku dan Aku
yang akan memberikan pahalanya, ia (orang yang berpuasa) meninggalkan
syahwatnya dan makanannya karena Aku.” (Lafazh hadits bagi Imam Muslim)
* Diwajibkan
meninggalkan perkataan dusta, makan harta riba dan mengadu domba.
* Juga
diharuskan meninggalkan segala perkara yang sia-sia dan tidak berguna.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar