Senin, 28 Oktober 2013

Sejarah Syi’ah



Sejarah Syi’ah saja bermula dari seorang Yahudi yang mengaku beragama Islam :
https://fbstatic-a.akamaihd.net/rsrc.php/v2/y4/r/-PAXP-deijE.gif

  • Sejarah Syi’ah saja bermula dari seorang Yahudi yang mengaku beragama Islam, dan semuanya dilakukan untuk menghancurkan Islam dari dalam.
    Maka tak aneh jika banyak sekali persamaan antara Yahudi dan Syi’ah, diantaranya:
    1. Yahudi telah mengubah-ubah Taurat, begitu pula Syi’ah. Mereka punya Al-Qur’an hasil kerajinan tangan mereka yaitu “Mushaf Fathimah” yang tebalnya 3 kali lipat Al-Qur’an kaum Muslimin. Mereka menganggap ayat Al-Quran yang diturunkan berjumlah 17.000 ayat, dan menuduh Sahabat menghapuskan sepuluh ribu lebih ayat.
    2. Yahudi menuduh Maryam yang suci berzina (QS. Maryam: 28), Syi’ah melakukan hal yang sama terhadap istri Rasulullah Saw. ‘Aisyah Radhiallahu’ anha sebagaimana yang diungkapkan Al-Qummi (pembesar Syi’ah) dalam “Tafsir Al-Qummi (II: 34).”
    3. Yahudi mengatakan, “Kami tidak akan disentuh oleh api neraka melainkan hanya beberapa hari saja”. (QS. Al-Baqarah: 80). Syi’ah lebih dahsyat lagi dengan mengatakan, “Api neraka telah diharamkan membakar setiap orang Syi’ah.” Seperti yang dinyatakan dalam kitab mereka yang dianggap suci “Fashl Kitab (hal.157).”
    4. Yahudi meyakini bahwa, Allah mengetahui sesuatu setelah tadinya tidak tahu, begitu juga dengan Syi’ah.
    5. Yahudi beranggapan bahwa ucapan “Aamiin” dalam shalat bisa membatalkan shalat. Syi’ah juga beranggapan yang sama.
    6. Yahudi berkata, “Allah mewajibkan kita melaksanakan lima puluh waktu shalat.” Begitu pula dengan Syi’ah.
    7. Yahudi mengakhiri shalat tanpa salam, cukup dengan mengangkat tangan dan memukulkannya pada lutut. Syi’ah juga mengamalkan perkara yang sama.
    8. Yahudi miring sedikit dari kiblat, begitu pula dengan Syi’ah.
    9. Yahudi itu berkata, “Tidak layak (tidak sah) kerajaan itu melainkan di tangan keluarga Daud.” Syi’ah juga berkata demikian, “Tidak layak Imamah itu melainkan pada ‘Ali dan keturunannya.”
    10. Yahudi mengakhirkan Shalat hingga bertaburnya bintang-bintang di langit. Syi’ah juga mengakhirkan Shalat sebagaimana Yahudi.
    11. Yahudi mengkultuskan Ahbar (‘ulama) dan Ruhban (para pendeta) mereka sampai peringkat ibadah dan menuhankan. Syi’ ah begitu pula, bersifat Ghuluw (melampaui batas) dalam mencintai para Imam mereka dan mengkultuskannya hingga di atas kelas manusia.
    12. Yahudi mengatakan Ilyas dan Finhas bin ‘Azar bin Harun akan kembali (reinkarnasi) setelah mereka bedua meninggal dunia. Syi’ah lebih berbahaya, mereka menyuarakan kembalinya (reinkarnasinya) ‘Ali, Al-Hasan, Al-Husain, dan Musa bin Ja’far yang dikhayalkan itu.
    13. Yahudi melakukan shalat sendirian, tidak ada shalat berjamaah. Syi’ah juga beranggapan sama, ini karena mereka meyakini bahwa tidak ada Shalat berjama’ah sebelum datangnya “Pemimpin ke-dua belas” yaitu Imam Mahdi.
    14. Yahudi tidak melakukan sujud sebelum menundukkan kepalanya berkali-kali, mirip ruku’. Syi’ah Rafidhah juga demikian.
    15. Yahudi menghalalkan darah setiap muslim. Demikian pula Syi’ah, mereka menghalalkan darah Ahlussunnah.
    16. Yahudi mengharamkan makan kelinci dan limpa dan jenis ikan yang disebut jariu dan marmahi. Begitu pula orang-orang Syi’ah.
    17. Yahudi tidak menghitung Talak sedikitpun melainkan pada setiap Haid. Begitu pula Syi’ah.
    18. Yahudi dalam syari’at Ya’qub membolehkan nikah dengan dua orang wanita yang bersaudara sekaligus. Syi’ah juga membenarkan penggabungan (dalam akad nikah) antara seorang wanita dengan bibinya.
    19. Yahudi tidak menggali liang lahat untuk jenazah mereka. Syi’ah Rafidhah juga demikian.
    20. Yahudi memasukkan tanah basah bersama-sama jenazah mereka dalam kain kafannya demikian juga Syi’ah Rafidhah.
    21. Yahudi tidak menetapkan adanya jihad hingga Allah mengutus Dajjal. Syi’ah Rafidhah mengatakan, “Tidak ada jihad hingga Allah mengutus Imam Mahdi datang.”


Mengenal Konsep Taaruf



Mengenal Konsep Taaruf
Oleh Ahmad Sarwat 
Pria boleh melihat calon pasangan lebih dari sekali, sebab bisa saja penglihatan yang pertama akan berbeda hasilnya dengan penglihatan kedua, ketiga dan seterusnya.
Pria boleh melihat calon pasangan lebih dari sekali, sebab bisa saja penglihatan …
Tanya:
Saya masih belum mengerti konsep taaruf. Sejauh mana batasannya mengenalkan calon pasangan? Bagaimana konsep “pacaran Islami” dan bagaimana meyakinkan bahwa calon pasangan merupakan seseorang yang soleh/solehah sehingga dianggap sebagai the one hingga layak dinikahi?
Hartopo Ari

Jawab:
Taaruf berasal dari bahasa Arab, secara harfiah maknanya adalah saling mengenal. Tetapi dalam penggunaan populer, taaruf sering berarti upaya saling mengenal antara dua calon pasangan yang akan mengikat diri dalam pernikahan. Teknisnya, taaruf adalah pertemuan antara calon suami dan calon istri untuk mengenal — baik fisik maupun sifat masing-masing.

Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling mengenal. (QS. Al-Hujurat: 13)

Dalam Islam, pernikahan bukan semacam transaksi gelap dan tidak jelas — seperti orang membeli kucing dalam karung. Pasangan yang menikah justru harus saling mengenal dan saling menerima kelebihan dan kekurangan masing-masing.

Dalil perlunya melihat calon istri/suami antara lain tiga hadits berikut ini.

“Apabila salah seorang di antara kamu hendak meminang seorang perempuan, kemudian dia dapat melihat sebahagian apa yang kiranya dapat menarik untuk mengawininya, maka kerjakanlah”. (HR Ahmad dan Abu Daud)

“Dari Abu Hurairah RA bahwa Nabi SAW bertanya kepada seseorang yang hendak menikahi wanita, “Apakah kamu sudah pernah melihatnya?” “Belum,” jawabnya. Nabi SAW bersabda, ‘Pergilah melihatnya dahulu.’” (HR. Muslim)

Mughirah bin Syu’bah RA berkata, “Aku meminang seorang wanita. Dan Rasulullah SAW bertanya padaku, “Apakah kamu sudah melihatnya?” Aku menjawab ‘Tidak.” Lalu beliau berkata, “Lihatlah dia karena melihat itu lebih dapat menjamin untuk mengekalkan kamu berdua.” (HR. Ibnu Majah)

Mughirah kemudian pergi rumah calon istrinya, tetapi tampaknya kedua calon mertua tidak suka. Si calon istri, yang mendengar dari dalam biliknya, kemudian berkata, “Kalau Rasulullah menyuruh kamu supaya melihat aku, maka lihatlah.” Mughairah pun melihatnya dan kemudian mengawini perempuan itu. (HR. Ibnu Majah)


Mazhab Hanafi, Maliki, Syafii dan sebagian Hambali menganggap melihat calon istri/suami adalah sunah — karena itulah perintah Nabi Muhammad kepada Mughirah. Sedangkan secara resmi, mazhab Hambali memandangnya sebagai sebuah kebolehan, bukan sunah (Musthafa Asy-Suyuthi Ar-Rahaibani, Mathalib Ulin Nuha fi Syarhi Ghayatil Muntaha, jilid 5 hal. 11).

Tentu saja, ada kaidah sesuai syariah yang harus dipatuhi saat taaruf. Apa saja? Ini dia:

1. Niat ingin menikahi
Hanya pria yang benar-benar berniat menikahi sang perempuan saja yang dibolehkan melihat. Sedangkan mereka yang cuma sekadar iseng-iseng atau coba-coba, padahal di dalam hati belum berniat menikahi, tentu tidak dibenarkan melihat.

Bahkan ulama Maliki, Syafii, dan Hambali mensyaratkan bahwa orang yang melihat calon istrinya sudah punya keyakinan bahwa wanita itu sendiri pun akan menerimanya.

Sementara mazhab Hanafi tidak mensyaratkan sampai sejauh itu, mereka hanya membatasi adanya keinginan untuk menikahinya saja, tidak harus ada timbal-balik antara keduanya (Al-Hathab Ar-Ra'ini, Mawahibul Jalil Syarah Mukhtashar Khalil, jilid 3 hal. 405).

2. Tidak harus seizin wanita
Mughirah menemui calon istrinya spontan, tanpa pemberitahuan lebih dahulu. Dari sini jumhur ulama berpendapat, tak ada ketentuan bahwa wanita mesti tahu sejak awal bahwa dia akan dilihat.

Sebagian ulama berpandangan sebaiknya sang wanita memang tidak diberitahu, agar dia tampil alami di mata yang melihat, sehingga tidak perlu menutupi apa yang ingin ditutupi.

Sebab kalau wanita itu mengetahui bahwa dirinya sedang dilihat, secara naluri dia akan berdandan sedemikian rupa untuk menutupi aib-aib yang mungkin ada pada dirinya. Maka dengan begitu, tujuan inti dari melihat malah tidak akan tercapai.

Namun mazhab Maliki berpendapat kalau pun bukan izin dari wanita yang bersangkutan, setidaknya harus ada izin dari pihak walinya. Hal itu agar jangan sampai tiap orang merasa bebas memandang wanita mana saja dengan alasan ingin melamar (Shalih Abdussami' Al-Abi Al-Azhari, Jawahirul Iklil, jilid 1 hal. 275).

3. Sebatas wajah dan kedua tangan hingga pergelangan
Jumhur ulama sepakat bahwa batasan yang boleh dilihat dalam taaruf adalah bagian tubuh yang bukan aurat.

Bila calon suami ingin melihat calon istrinya, maka dia hanya boleh melihat wajah dan kedua tangannya hingga pergelangan. Sedangkan bila calon istri ingin melihat calon suaminya, maka batasan auratnya adalah antara pusar dan lututnya.

4. Tidak boleh menyentuh
Yang dibolehkan hanya melihat bagian tubuh yang bukan aurat, sedangkan menyentuh, apalagi dengan nafsu justru dilarang.

5. Melihat berulang-ulang
Pria boleh melihat calon pasangan lebih dari sekali, sebab bisa saja penglihatan yang pertama akan berbeda hasilnya dengan penglihatan kedua, ketiga dan seterusnya.

Oleh karena itu, pada prinsipnya asalkan bertujuan mulia dan terjaga dari fitnah, dibolehkan melihat calon istri beberapa kali, hingga si pria betul merasa mantap dengan pilihan.

6. Tidak boleh berduaan
Sebagian kalangan ada yang dengan sangat ketat melarang calon pasangan untuk saling bertemu muka langsung. Alasannya karena takut nanti menimbulkan gejolak di dalam hati.

Padahal sebenarnya pertemuan langsung itu tidak dilarang secara mutlak. Apabila ada ayah kandung, atau laki-laki mahram yang ikut mendampingi, maka pertemuan yang bersifat langsung boleh saja dilakukan.

Pasangan itu bisa saja berjalan-jalan sambil bercakap-cakap, misalnya sambil berbelanja, berekreasi, atau melakukan perjalanan bersama. Yang penting tidak berduaan, dan pihak calon istri didampingi oleh laki-laki yang menjadi mahramnya.

Yang dilarang adalah posisi berduaan dan bersepi-sepi di tempat yang tidak ada orang tahu.

7. Mengirim utusan untuk melihat
Untuk hal-hal yang lebih dalam, terkait dengan aib dan cacat, apabila dirasa kurang etis untuk dibicarakan secara langsung, maka masing-masing pihak baik suami atau istri boleh mengirim utusan untuk melihat secara langsung.

Pihak calon suami boleh mengirim kakak atau adik perempuannya kepada pihak calon istri, untuk melihat hal-hal yang sekiranya masih haram dilihat langsung oleh calon suami. Sehingga detail keadaan fisik calon istri bisa diketahui oleh sang utusan.

Dan demikian pula sebaliknya, calon istri boleh mengirim kakak atau adiknya yang laki-laki untuk mendapatkan informasi lebih detail tentang sang calon suami.

Wallahua'lam bishshawab

Minggu, 27 Oktober 2013

Ikuti prinsip-prinsip Islam maka lingkungan akan terjaga



Pangeran Charles : Ikuti prinsip-prinsip Islam maka lingkungan akan terjaga
Hanin Mazaya Selasa, 6 Syawwal 1434 H / 13 Agustus 2013 06:59

LONDON (Arrahmah.com) – Pangeran Charles mendesak dunia untuk mengikuti prinsip-prinsip Islam untuk melindungi lingkungan.
Dalam pidato selama satu jam, pewaris tahta ini berargumen bahwa manusia yang menghancurkan dunia bertentangan dengan kitab suci dari semua agama, tetapi terutama Islam.
Dia mengatakan saat ini pemisahan antara manusia dan alam itu disebabkan bukan hanya oleh industrialisasi, tetapi juga oleh sikap kita terhadap lingkungan, yang bertentangan dengan butir dari “tradisi suci”.
Charles, yang beragama Kristen dan akan menjadi kepala Gereja Inggris ketika ia berhasil naik tahta, secara mendalam berbicara mengenai Al Qur’an yang ia pelajari sendiri, ia mengatakan bahwa tidak ada pemisahan antara manusia dan alam dan mengatakan bahwa kita hidup dalam batas lingkungan.
Pangeran Charles berbicara kepada audiens sarjana di Pusat Studi Islam Oxford yang mencoba untuk mendorong pemahaman yang lebih baik dari budaya dan peradaban agama.
Pidatonya, menggabungkan agama dengan subjek favoritnya, lingkungan, menandai ulang tahun ke-25 dari organisasi tersebut.
Dia menambahkan : “Kebenaran adalah bahwa kita berbagi planet ini untuk alasan yang baik dan itu adalah kita tidak bisa berada di sini sendiri tanpa adanya keseimbangan lingkungan di sekitar kita.”
“Islam selalu mengajarkan hal ini dan mengabaikan pelajaran itu adalah melalaikan kontrak kita dengan pencipta.”  (haninmazaya/arrahmah.com)
Sebarkan!
Raih amal shalih, sebarkan informasi ini...
BDL: 30 Agustus 2013

Senin, 02 September 2013

300 AMALAN YANG MENGALIR PAHALANYA............



Author: Akhmad Tefur
Tadi malam saya memberikan tausiyah singkat di sebuah rumah duka. Saya memulainya dengan melontarkan pertanyaan: “Bapak Ibu yang saya hormati… ada berapa amalan yang pahalanya terus mengalir?”. Sebagian kecil hadirin menjawab “tiga”. Yang lain beku, rupanya enggan menjawab pertanyaan mudah ini. :)
Untuk memancing semua hadirin buka mulut, saya melanjutkan pertanyaan dengan full power.
“Baik, jadi amalan yang pahalanya terus mengalir ada tiii…….?
“Gaaa……” Kali ini seluruh hadirn kompak menjawabnya. Ini yang disebut dengan simple ice breaker, cara paling mudah untuk memecah kebekuan.
Tapi saya segera menimpalinya dengan mengatakan:
Tiiigaaa raaatuuus….!!!
Hah…! Semua hadirin kaget mendengarnya…. Ada juga yang bingung bin bengong. Bahkan ada yang berteriak “Kok tiga ratus!?”
Kemudian saya perkuat dengan penegasan repetisi.
“Amalan yang pahalanya terus mengalir ada tiga ratus…, bukan hanya tiga, Bu…”
“Amalan yang pahalanya terus mengalir bukan hanya tiga…, tapi tiga ratus, Pak…. Bahkan lebih!”
Hadirin semakin bengong…
“Sekarang mari kita hitung .. yang pertama adalah shadaqah jariyah, yang kedua….?” Saya pancing pertanyaan agar suasana tausiyah lebih hidup.
“Ilmu yang bermanfaat” Jawab hadirin.
“Yang ketiga…?” Saya bertanya lagi.
“Anak shaleh yang mendoakan” Hadirin meneruskan.
“Yang keempat…?” Saya diam sejenak untuk membuat tausiyah makin diminati.
Seperti dugaan saya, tak seorangpun dapat menjawabnya. Anda juga? He he …
Semua trik di atas memang sengaja saya lakukan untuk menciptakan presentasi menarik. :)
Terbukti: sampai di sini seluruh hadirin pasang telinga, tak ada yang ngobrol dewek-dewek. Sangat antusias mengikuti tausiyah yang bikin penasaran itu.
Lanjut ya, cerita tausiyahnya…
“Yang keempat sampai ketiga ratus, ini berdasarkan sebuah hadits Nabi yang berbunyi: Ketika seorang hamba sedang sakit atau bepergian, maka baginya ditulis seperti amal yang dikerjakannya ketika dia mukim dan sehat (HR Bukhari).
Jadi seandainya kita setiap hari baca Al Quran, kemudian kita sakit sehingga tidak bisa membacanya, maka pahala baca Al Quran akan terus kita dapatkan.
Demikian juga jika kita rutin puasa sunnah, puasa Senin Kamis, puasa mutih (ayyamul bidh tgl 13, 14, 15 bulan Hijriah), shalat berjamaah di masjid, dll. Jika kita sakit, baik sebentar atau sakit yang bertahun-tahun, maka pahala amalan-amalan tersebut akan terus mengalir walaupun kita tidak mengerjakannya.
Termasuk jika kita setiap hari pergi dengan membaca doa Bismillahi tawakkaltu alallah laa haulaa walaa quwwata illa billaahil aliyil adhiim. Lalu kita sakit dan tidak bisa bepergian dengan doa harian tersebut, maka pahala amal itupun akan tetap mengalir walaupun kita tidak mengerjakannya.
Nah, baru apabila seseorang meninggal maka terputuslah seluruh amalnya yang 297 itu, sisanya tinggal tiga hal yaitu: shadaqah jariyah, ilmu yang bermanfaat, dan anak shaleh yang mendoakan. Sesuai hadits Nabi yang diriwayatkan oleh Muslim.
Hadirin yang berbahagia, tentu kita sering melihat orang-orang yang sakit berkepanjangan. Sakit bertahun-tahun, bahkan berpuluh-puluh tahun. Betapa ruginya mereka jika semasa sehatnya tidak memiliki amal-amal rutin. Bagaimana jika hal ini menimpa diri kita sendiri?”
Oleh karena itu, mari kita perbanyak amalan-amalan rutin. Karena pahalanya terus mengalir walaupun kita tidak mengerjakannya karena sakit atau safar.” ***
Bagi yang masih sehat, jangan lupa share Blog Artikel Islami ini secara rutin yah… :)
Untuk input kami, jika anda suka artikel ini : Klik 'Like'
Dan jika ingin ikut berbagi ke teman : Klik t / f / M
Di publikasikan oleh : Masnawibalam
BDL27082013