Kamis, 21 Februari 2013

Dari Lemak Babi ke Piagam Kerja Sama



Dari Lemak Babi ke Piagam Kerja Sama
  Kasus lemak babi, yang sempat memukul produsen makanan, membuat Depkes
  berseteru dengan MUI. Perseteruan diselesaikan dengan piagam kerja sama.
----------------------------------------------------------------------------
Bagi umat Islam, babi itu jelas hukumnya: haram. Yang tak jelas adalah bahan
makanan apa saja yang mengandung barang haram lainnya. Sebuah hasil
penelitian seorang doktor di Malang, bersama sejumlah mahasiswanya pada
tahun 1988, sempat menyentak kesadaran umat Islam tentang banyaknya makanan
yang memakai bahan dari babi.
 

 Kepedulian Tri Soesanto, doktor itu, tergelitik ketika melihat
seorang rekannya yang muslim memakan bacon, tanpa mengetahui bahwa yang
dimakannya adalah daging babi asap. Tri lalu berkesimpulan, tentu sedikit
yang tahu bahwa banyak makanan memakai bahan dari babi atau barang haram
lainnya. Lantas, bersama sejumlah mahasiswanya, Tri yang dosen teknologi
pangan di Universitas Brawijaya Malang itu meneliti produk-produk yang
dijual di sejum lah pasar swalayan dan toko kelontong. Mereka mencatat nama
produk yang memakai gelatin, shortening, lard, dan alkohol.
 

 Gelatin adalah protein yang diturunkan dari kulit, jaringan urat, dan tulang binatang. Kebanyakan gelatin berasal dari babi karena tulang binatang
ini lunak. Shortening ini semacam margarin yang berasal dari lemak hewan,
bisa juga berasal dari minyak tumbuhan yang ditambahkan ke lemak babi.
Sedangkan lard adalah minyak babi. Tri menemukan 34 jenis makanan dan
minuman yang mengandung barang haram itu.
 

 Hasil penelitian itu dimuat di Canopy, buletin senat mahasiswa
Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, edisi Januari 1988. Kehebohan
dimulai ketika hasil penelitian Tri itu dibahas Kelompok Cendekiawan Muslim
Al-Falah Surabaya. Puncak kehebohan terjadi setelah daftar 34 jenis itu
diubah menjadi 63 macam, entah oleh siapa, dan beredar luas di masyarakat.
Susu cap Dancow, Indomie, kecap cap Bango, misalnya, masuk dalam "daftar
baru" itu.
 

 Orang-orang pun tersentak. Kesadaran akan barang-barang haram bangkit secara tiba-tiba, bersama dengan kecurigaan. Permen Sugus, kecap ABC, sabun
Camay, pasta gigi Colgate, menjadi barang yang dihindari karena dicurigai
memakai bahan gelatin atau shortening dari babi. Khatib di masjid-masjid
menganjurkan agar umat Islam berhati-hati pula terhadap makanan yang
berstatus meragukan alias syubhat, mungkin halal mungkin juga haram.
 

 Para produsen seperti kebakaran jenggot karena dagangannya anjlok drastis. PT Sanmaru Food Manufacture, produsen Indomie, mengaku penjualan
produknya turun 20-30 persen dari omsetnya yang 40 juta bungkus per bulan
itu. Penjualan kecap Bango merosot rata-rata 75 persen. Penjualan kecap ABC
melorot 25 persen. Di daerah yang mayoritas penduduknya muslim, angka
penjualan kecap itu bisa melorot lebih tajam. Produsen biskuit Siong Hoe
terpaksa mengurangi produksinya menjadi sepertiga produksi sebelumnya, yang
5 ton per hari. Penjualan es krim Campina, yang ikut tersikut isu "lemak
babi", turun hingga 40 persen.
 

 Bukan hanya pengusaha berdasi yang terpukul isu lemak babi. Para penjual sate juga turut murung karena omset penjualan sate nya ikut jeblok.
Mereka harus mengganti kecap "haram" yang biasa dipakai dengan kecap merek
lain agar dagangannya laku kembali.
 

 Para pengusaha yang dagangannya masuk daftar hasil penelitian Tri atau "daftar" yang dipalsukan pontang-panting menjelaskan bahwa dagangannya
tak mengandung babi. Shortening yang mereka pakai adalah shortening dari
minyak sawit yang dipasok PT Bimoli, Unilever, atau PT Mulyorejo. Produsen
biskuit Siong Hoe, PT Tri Fabig, "mengiklankan" pernyataan Tri Soesanto yang
menjamin biskuitnya tidak haram.
 

 Untuk mendongrak penjualan susu Dancow, produsennya, PT Food Specialties Indonesia (FSI), mengeluarkan dana iklan Rp 340 juta. Bahkan,
saking paniknya, Presiden Direktur PT FSI, Anthony F. Walker, sempat
menyatakan tidak akan mengambil susu dari Boyolali. Artinya, mata
pencaharian sekitar 71 ribu peternak sapi di sana pun terancam. Anthony lega
ketika Ditjen POM Depkes menyatakan bahwa lecitine, bahan susu Dancow yang
dicurigai berasal dari lemak babi, ternyata berasal dari lemak nabati.
Sekjen Departemen Agama (ketika itu) Tarmizi Taher, bersama tim MUI, secara
demonstratif minum susu di pabrik Dancow di Pasuruan. Hal yang serupa juga
dilakukan oleh produsen Indomie.
 

 Yang paling sial adalah wartawan dan redaktur ekonomi harian Berita Buana, H. Abdul Wahid. Ia dituduh menyiarkan berita yang dapat menimbulkan
keonaran di masyarakat karena memuat "daftar kembangan" 63 jenis makanan
yang haram itu. Majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan memvonisnya
1 tahun penjara.
 

 Heboh soal makanan haram juga pernah terjadi di Bandung pada 1984. Ketika itu, sejumlah mahasiswa Fakultas Peternakan meneliti dagangan tukang
bakso keliling atau yang mangkal di pinggir jalan. Sekitar 30 persen bakso
yang dijual terbukti mengandung daging babi.
 

 Itu baru soal pangan. Bahan-bahan kosmetik atau obat-obatan juga sering memanfaatkan gelatin atau alkohol. Sayangnya, Ditjen POM Depkes
terkesan tak peduli terhadap soal-soal di luar masalah kesehatan, termasuk
haramnya komponen barang-barang tersebut. MUI, yang ketiban pulungnya,
kemudian memprakarsai pendirian lembaga penguji halal-haramnya bahan
makanan, obat-obatan, dan kosmetik. Nama lembaga itu adalah Yayasan Lembaga
Konsumen Muslim, lalu berubah menjadi Lembaga Pengkajian Pangan,
Obat-obatan dan Kosmetik MUI (LPPOM) pada Januari 1989. Lembaga di bawah MUI
ini meniru pola lembaga Consumers Association of Penang (CAP) Malaysia, yang
sudah berdiri sejak 1970. Rektor IPB Bogor, Sitanala, memberikan bantuan
berupa fasilitas laboratorium dan tenaga ahli di kampus itu untuk LPPOM,
atas permintaan Ketua MUI, K.H. Hasan Basri.
 

 LPPOM yang dipimpin Prof. Dr. Aisyah Girindra inilah yang melakukan pengujian kehalalan suatu produk. Hasil pengujian LPPOM menjadi dasar bagi
Komisi Fatwa MUI untuk mengeluarkan fatwa halal yang akhirnya diterbitkan
menjadi sertifikat. Biaya untuk mendapatkan sertifikat halal adalah Rp 200
ribu hingga Rp 1 juta. Sejak mengeluarkan sertifikat halal pertama tahun
1994 hingga kini, LPPOM telah mengeluarkan lebih dari 200 sertifikat untuk
berbagai jenis produk dari 90 perusahaan.
 

 Setelah heboh "lemak babi" tahun 1988, Tri Soesanto sendiri membentuk Yayasan Lembaga Sertifikasi Halal di Malang, Jawa Timur. Yang menjadi binaan
lembaga ini adalah usaha kecil seperti pedagang bakso atau tempat pemotongan
hewan. Pada tahap awal, pendanaannya dibantu oleh MUI Jawa Timur. Setelah
berhasil mengumpulkan dana dari sertifikasi, yayasan itu kini jalan
sendiri. "Kemandirian itu penting, untuk memperoleh kepercayaan," kata Tri
Soesanto, yang mendapat gelar profesor pada Juli tahun ini.
 

 Gerak cepat melakukan sertifikasi halal dilakukan untuk mem buat umat Islam tenteram. Alat penguji kehalalan bahan makanan sebetulnya tak terlalu
sempurna dan agak langka. Saat heboh isu lemak babi, Ditjen POM Depkes
sempat kesulitan melakukan penelitian di daerah karena alat untuk
mendeteksi komponen babi dengan teknik kromatografi itu hanya ada di
Jakarta.
 

 LPPOM, yang juga punya alat sejenis, berupaya menemukan metode lain yang lebih sempurna. Karena, menurut anggota Lembaga Pangan, Obat-obatan,
dan Kosmetik (LPOK) MUI Jawa Barat, Dina L. Sudjana, teknik kromatografi ini
sangat banyak kelemahannya. Dina kemudian mencoba imunikimia, aplikasi
imunisasi dengan kimia yang menggunakan sistem "memori". Jika ada bahan yang
termasuk "teman babi", sistem itu akan membentuk reaksi tertentu yang
dinamakan key and lock.
 

 Namun, Dina masih belum puas dengan imunikimia. Ia kemudian mencoba metode elisa, yang menggunakan enzim sebagai katalisator untuk mempercepat
proses reaksi. Sekitar pertengahan Oktober lalu, alhamdulillah, Dina
berhasil.
 

 Cara bekerja elisa (enzyme link immunosorbent assay) adalah dengan melarutkan makanan yang diuji. Pada tetesan makanan itu ditambahkan antigen
antibodi, ditambah lagi dengan enzim tertentu. Maka, kalau terdapat reaksi
positif, akan berwarna hijau, dan negatif untuk yang berwarna bening. Dina
mencoba alat ini pada beberapa produk yang telah diberi label halal Depkes.
Hasilnya, beberapa produk ternyata harus diuji ulang. Apa saja produk itu?
"Tidak usah disebut, nanti masyarakat geger dan kasus lemak babi terulang,"
kata sarjana teknologi pangan yang punya obsesi menciptakan alat deteksi
babi yang portabel itu kepada Ardi Braman tyo dari FORUM.
 

 Soal halal-haram memang soal yang sensitif. Bukan hanya bagi
masyarakat Indonesia yang mayoritas muslim, juga bagi Depkes dan MUI. Sejak
awal, sertifikasi yang dilakukan MUI diprotes Depkes. Pasalnya, menurut
pihak Depkes, sertifikasi mempunyai standar dan prosedur tertentu. Apalagi,
pihak Depkes tak dilibatkan.
 

 Pada Desember 1994, MUI kembali "berseteru" dengan Depkes. Perusahaan biskuit United Waru Biscuit Manufacture, Jawa Timur, kena tegur Depkes
karena mencantumkan label halal pada salah satu kemasan produknya. Label
boleh dilekatkan jika sudah melalui pemeriksaan di Depkes, yang memang
berwenang untuk itu. Depkes memberi batas waktu dua bulan bagi perusahaan
itu untuk menarik produknya yang berlabel halal itu. Perusahaan biskuit
tersebut tetap ngotot karena telah mendapat sertifikat halal dari MUI.
 

 Ketegangan antara Depkes dan MUI sirna setelah ada "Piagam Kerja Sama" yang ditandatangani Menkes, Menag, dan Ketua MUI, pada Juni 1996.
Piagam itu intinya adalah pembagian tugas antara MUI dan Depkes. Pengusaha
tidak lagi mengajukan permohonan ke MUI melainkan ke Depkes. Tim auditor
Depkes turut terjun ke lapangan bersama tim LPPOM. Hasil keputusan sidang
fatwa MUI diterbitkan dalam bentuk sertifikat juga. Setelah itu, produsen
akan menerima "label halal" dari Depkes. Yang belum jelas, siapa nanti yang
mengelola labelisasi itu. Pemerintahkah, atau pihak ketiga?
 

 Zuhri, Hanibal, dan Yusi ( dipublikasikan ulang  oleh : Masnawi-duniareligi.blogspot.com )
 BDL 11 Desember 2012
email : masnawibalam@yahoo.com
call    : +6282182125120

Tidak ada komentar:

Posting Komentar